Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan.
Etiologi
Penyebab lokal :
1. Trauma, misalnya mengorek hidung, terjatuh, terpukul, benda asing di hidung,
trauma pembedahan, atau iritasi gas yang merangsang.
2. Infeksi hidung dan sinus paranasal, seperti rinitis, sinusitis; serta granuloma
spesifik, seperti lepra dan sifilis.
3. Tumor, baik jinak maupun ganas pada hidung, sinus paranasal dan nasofaring.
4. Lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak seperti pada
penerbang dan penyelam (penyakit Caisson) atau lingkungan yang udaranya
sangat dingin.
5. Benda asing atau rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan disertai ingus
berbau busuk.
6. Idiopatik, biasanya merupakan epistaksi yang ringan dan berulang pada anak
dan remaja.
Penyebab sistemik :
1. Penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi dan kelainan pembuluh darah.
2. Kelainan darah, seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukemia.
3. Infeksi sistemik, seperti demam berdarah dengue, influenza, morbili, dan
demam tifoid.
4. Gangguan endokrin, seperti kehamilan, menars, dan menopause.
5. Kelainan kongenital, seperti penyakit Osler (hereditary hemorrhagic
telangiectasia).
Patofisiologi
Terdapat 2 sumber perdarahan, yaitu bagian anterior dan bagian posterior.
Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach (yang paling banyak terjadi dan sering ditemukan pada anak-anak), atau dari arteri etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien duduk, darah akan keluar melalui lubang hidung. Seringkali dapat berhenti spontan dan mudah diatasi.
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskular. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama penanggulangan epistaksis :
1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah berulangnya epistaksis
Alat-alat yang digunakan : lampu kepala, spekulum hidung, alat hisap, forseps bayonet, spatel lidah, kateter karet, pelilit kapas (cotton applicator), lampu spiritus, kapas, tampon posterior (tampon Bellocq), vaselin, salep antibiotik, larutan pantokain 2% atau semprotan silokain untuk anestesi lokal, larutan adrenalin 1/10.000, larutan nitras argenti 20-30 %, larutan triklorasetat 10 %, atau elektrokauter.
Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis singkat sambil mempersiapkan alat.
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti pemasangan tampon dan kaustik lebih baik daripada memberikan obat-obatan hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti.
Pasien diminta duduk tegak (agar tekanan vaskuler berkurang dan mudah membatukkan darah di faring). Bila dalam keadaan lemah atau syok, pasien dibaringkan dengan bantal di belakang punggung. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat hisap agar hidung bersih dari bekuan darah. Kemudian pasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidokain atau pantokain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri untuk tindakan selanjutnya. Biarkan 3-5 menit dan tentukan apakah sumber perdarahan di bagian anterior atau posterior.
Pada anak yang sering mengalami epistaksi ringan, perdarahan dihentikan dengan cara menekan kedua cuping hidung ke arah septum selama beberapa menit.
Perdarahan Anterior
Jika terlihat, sumber perdarahan dikaustik dengan larutan nitras argenti 20-30 % (atau asam triklorasetat 10 %) atau elektrokauter. Sebelumnya digunakan analgesik topikal. Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung maka diperlukan pemasangan tampon anterior, yaitu kapas atau kasa menyerupai pita dengan lebar kira-kira 0,5 cm yang diberi vaselin atau salep antibiotik agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan ulang saat pencabutan. Tampon anterior dimasukkan melalui nares anterior, diletakkan berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung dan harus menekan tempat asal perdarahan. Tampon dipertahankan 1-2 hari.
Jika tidak ada penyakit yang mendasarinya, pasien diperbolehkan rawat jalan dan diminta lebih banyak duduk serta mengangkat kepalanya sedikit pada malam hari. Pasien lanjut usia harus dirawat.
Perdarahan Posterior
Terjadi bila sebagian besar darah yang keluar masuk ke dalam faring, tampon anterior tidak dapat menghentikan perdarahan, dan pada pemeriksaan hidung tampak perdarahan di posterior superior.
Perdarahan posterior lebih sukar diatasi karena perdarahan biasanya hebat dan sukar melihat bagian posterior dari kavum nasi. Dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq), yaitu tampon yang mempunyai 3 utas benang, 1 utas di tiap ujung dan 1 utas di tengah. Tampon harus dapat menutup koana (nares posterior). Tampon dibuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus dengan diameter sekitar 3 cm.
Untuk memasang tampon Bellocq, kateter karet dimasukkan melalui salah satu nares anterior sampai tampak di orofaring dan ditarik keluar melalui mulut. Ujung kateter diikat pada salah satu benang yang ada pada salah satu ujung tampon kemudian kateter ditarik melalui hidung sampai benang keluar dari nares anterior. Dengan cara yang sama benang yang lain dikeluarkan melalui lubang hidung sebelahnya. Benang yang keluar kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk tampon tersebut didorong ke arah nasofaring. Agar tidak bergerak, kedua benang yang keluar dari nares anterior diikat pada sebuah gulungan kasa di depan lubang hidung. Ujung benang yang keluar dari mulut, dilekatkan pada pipi. Benang tersebut berguna bila hendak mengeluarkan tampon. Jika dianggap perlu, dapat pula dipasang tampon anterior.
Pasien dengan tampon posterior harus dirawat dan tampon dikeluarkan dalam waktu 2-3 hari setelah pemasangan. Dapat diberikan analgesik atau sedatif yang tidak menyebabkan depresi pernapasan. Bila cara diatas dilakukan dengan baik maka sebagian besar epistaksis dapat ditanggulangi.
Sebagai pengganti tampon posterior, dapat pula dipakai kateter Foley dengan balon.
Selain itu dapat pula dipakai obat-obatan hemostatik seperti vitamik K atau karbazokrom.
Pada epistaksis berat dan berulang yang tak dapat diatasi dengan pemasangan tampon, diperlukan ligasi arteri etmoidalis anterior dan posterior atau arteri maksila interna. Untuk ini, pasien harus dirujuk ke rumah sakit.
Epistaksi akibat fraktur nasi atau septum nasi biasanya berlangsung singkat dan berhenti secara spontan. Kadang-kadang timbul kembali beberapa jam atau beberapa hari kemudian setelah edema berkurang. Sebaiknya pasien dirujuk untuk menjalani perawatan fraktur nasi dan ligasi bila diperlukan.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menilai keadaan umum dan mencari etiologi, dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostasis, uji faal hati dan ginjal. Dilakukan pula pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal dan nasofaring, setelah keadaan akut diatasi.
Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat perdarahan hebat :
1. Syok dan anemia
2. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak,
insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera
dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.
Akibat pemasangan tampon :
1. Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinusitis, otitis media bahkan
septikemia. Oleh karena itu pada setiap pemasangan tampon harus selalu
diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut meski akan dipasang
tampon baru bila masih berdarah.
2. Sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui tuba Eustachius,
dapat terjadi hemotimpanum dan air mata yang berdarah.
3. Pada waktu pemasangan tampon Bellocq dapat terjadi laserasi palatum mole dan
sudut bibir karena benang terlalu kencang dilekatkan.
Prognosis
90 % kasus epistaksis dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/atau tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.
Sumber : http://www.geocities.com/kliniktehate/penyakit-hidung/epistaksis.htmdari : Kapita Selekta Kedokteran. Editor Mansjoer Arif (et al.) Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media Aesculapius. 1999.
TEKNIK
Penatalaksanaan Epistaksis
Mohammad Ichsan
Laboratorium/SMF Bagian Telinga, Hidung dan Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala/
Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Darussalam Banda Aceh, Aceh
ABSTRAK
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa lokal atau
sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat ber-
akibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian bela-
kang hidung. Untuk menghentikan perdarahan dilakukan tampon anterior, kauterisasi
dan tampon posterior. Komplikasi yang timbul pada pemasangan tampon anterior adalah
sinusitas, air mata berdarah dan septikemia. Komplikasi pemasangan tampon posterior
adalah otitis media, haemotympanum, laserasi palatum mole dan sudut bibir. Bila
dengan pemasangan tampon posterior perdarahan tidak berhenti maka dilakukan ligasi
arteri.
PENDAHULUAN
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung
(1)
; merupa-
kan suatu keluhan atau tanda, bukan penyakit
(2,3)
. Perdarahan
yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau
penyakit umum. Penting sekali mencari asal perdarahan dan
menghentikannya, di samping perlu juga menemukan dan
mengobati sebabnya
(4)
. Epistaksis sering ditemukan sehari-hari
dan mungkin hampir 90% dapat berhenti dengan sendirinya
(spontan) atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh
pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya
(3)
. Epistaksis
berat, walaupun jarang dijumpai, dapat mengancam keselamat-
an jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal, bila tidak segera
ditolong
(3,4)
.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari
bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat
berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri athmoidalis
anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari ar-
teri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior
(2,3)
.
Epistaksis biasanya terjadi tiba-tiba. Perdarahan mungkin
banyak, bisa juga sedikit. Penderita selalu ketakutan sehingga
merasa perlu memanggil dokter.Sebagian besar darah keluar
atau dimuntahkan kembali.
ANATOMI VASKULAR
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri
karotis eksterna dan karotis interna.
Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak
pada cavum nasi melalui :
1)
Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris
yang berjalan melalui foramen sphenopalatina yang mem-
perdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding
lateral hidung.
2)
Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri pala-
tina mayor, yang berjalan melalui kanalis incisivus pa-
latum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum
nasi.
Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika memper-
cabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang men-
darahi septum dan dinding lateral superior.
DEFINISI
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan
suatu tanda atau keluhan bukan penyakit
(1,2,3)
. Perdarahan dari
hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan
Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 43
dan mengganggu, dan dapat pula mengancam nyawa. Faktor
etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis
secara efektif
(2,4,7,10)
.
ETIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah
di dalam selaput mukosa hidung.
Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh
darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach
terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persam-
bungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anas-
tomosis
(7)
.
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan
umum atau kelainan sistemik
(2,3,4,10)
.
1) Lokal
a)
Trauma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya
mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung,
trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi
oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat
juga menyebabkan epistaksis.
b) Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta
granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menye-
babkan epistaksis.
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya
sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus
yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta angio-
fibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.
d) Kelainan
kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis
ialah perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorr-
hagic telangiectasia/Osler's disease). Pasien ini juga menderita
telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus gastro-
intestinal dan/atau pembuluh darah paru.
e) Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi
septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat
menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior sep-
tum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar
aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi
hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan
dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta
berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan
kemudian perdarahan.
f) Pengaruh
lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan
udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.
2) Sistemik
a) Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan
leukemia.
b)
Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada
aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes
melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hiper-
tensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak
baik.
c)
Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza,
morbili, demam tifoid.
d) Gangguan
endokrin
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi
epistaksis, kadang-kadang beberapa wanita mengalami per-
darahan persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.
LOKASI EPISTAKSIS
Menurunkan sumber perdarahan amat penting, meskipun
kadang-kadang sukar ditanggulangi
(3)
. Pada umumnya terdapat
dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan pos-
terior.
1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach,
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-
anak. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat
dikendalikan dengan tindakan sederhana
(3,5,6,9)
.
2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan
arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sen-
diri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan
syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardio-
vaskular
(3,5,6,9)
.
GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari
bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada
bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah
(7)
.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempat-
kan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa
bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau meng-
eksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka
dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam
hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku;
sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi
untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab per-
darahan
(5,9)
. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas
yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan panto-
kain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adre-
nalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit
dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga per-
darahan dapat berhenti untuk sementara
(5,9)
. Sesudah 10 sampai
15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan
evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret
berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus
diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
(5,9)
a) Rinoskopi
anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari an-
terior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum
nasi, dinding lateral hidung dan konkhainferior harus diperiksa
dengan cermat.
b) Rinoskopi
posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior pen-
ting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung
Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001
44
kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
c) Pengukuran
tekanan
darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagno-
sis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis
yang hebat dan sering berulang.
d) Rontgen
sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e) Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum,
waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu per-
darahan.
f) Riwayat
penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap
masalah kesehatan yang mendasari epistaksis.
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan
perdarahan.
Hal-hal yang penting adalah
(1)
:
1.
Riwayat perdarahan sebelumnya.
2.
Lokasi perdarahan.
3.
Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke pos-
terior) atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien
duduk tegak.
4.
Lamanya perdarahan dan frekuensinya
5.
Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6.
Hipertensi
7.
Diabetes melitus
8.
Penyakit hati
9.
Gangguan koagulasi
10.
Trauma hidung yang belum lama
11.
Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah
dalam keadaan akut atau tidak
(3,10)
.
a)
Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa
dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau
keadaaan syok.
b)
Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, per-
darahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala
ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum
selama beberapa menit.
c)
Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon
anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/
lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan
bekuan darah.
d)
Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat
dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras
argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elek-
trokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih
dahulu.
e)
Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus ber-
langsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan
kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin
atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat
dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang ½ cm,
diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak
rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat
asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
Gambar 1. Tampon anterior
f) Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon
posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran
lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah
pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon
harus menutup koana (nares posterior)
Gambar 2. Tampon Bellocq
Teknik Pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter
karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan
kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemu-
dian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi
tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung.
Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik,
sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong
tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan
dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian
diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang
hidung sehingga tampon posterior terfiksasi.
Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dike-
luarkan melalui mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan
Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 45
diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien
dengan tampon Bellocq harus dirawat.
Gambar 3. Tampon posterior
Komplikasi Tindakan
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis
(karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah
(bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui
duktus nasolakrimalis dan septikemia.
Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis
media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut
bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu
kencang ditarik.
g) Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter
Foley dengan balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikem-
bangkan dengan air.
h)
Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-
obat hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-
obat ini sedikit sekali manfaatnya.
i)
Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang
yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon
posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.
KESIMPULAN
1)
Epistaksis (perdarahan dari hidung) bisa ringan sampai
berat yang berakibat fatal.
2)
Perdarahan bisa berhenti sendiri sampai harus segera
ditolong.
3)
Pada epistaksis berat harus ditolong di rumah sakit oleh
dokter.
4)
Tindakan yang dilakukan pada epistaksis adalah dengan:
a)
Memencet hidung
b)
Pemasangan tampon anterior dan posterior
c)
Kauterisasi
d)
Ligasi (pengikatan pembuluh darah)
KEPUSTAKAAN
1.
Adam GL, Boies LR, Hilger PA. Boies Fundamentals of Otolaryngology,
Fifth Ed., Philadelphia : WB Saunders, 1978.
2.
Cidy DTR, Kern EB, Pearson BW. (eds) Disease of The Ear, Nose and
Throat. Mayo Fondation, 1981. Editor Adrianto P. Cetakan V. Jakarta,
Penerbit EGC, 1993.
3.
Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Kedua, Jakarta FKUI, 1993, hal. 85, 103-7.
4.
Stell PN, Seilger J, Parcy R. Pelajaran Ringkas Telinga Hidung dan
Tenggorokan. Alih bahasa Roezim, A. dkk. Cetakan III, Jakarta, PT
Gramedia, 1989.
5.
Kalzt, AE. (eds) Manual of Otolaryngology Head and Neck Therapeutic.
Philadelphia, Lea dan Febiger, 1986.
6.
Ludman H, Petunjuk Penting Telinga Hidung Tenggorokan. Editor
Oswari, Jonathan. Jakarta, Hipokrates, 1992, 59-61.
7.
Maron AGD, (eds) Otorhinolaryngology Including Oral Medicine and
Surgery. Vol. 4 Baltimore, University Park Press, 1993.
8.
Junaidi P, Soemarso SA, Amelz H. (eds) Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi Kedua, Jakarta : Penerbit Media Acusculapius, 1992, 242.
9.
Thaller SR, Granick MS, Myers EN (eds). Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan. Alih bahasa Adrianto P. Cetakan Kedua, Jakarta, Penerbit
EGC, 1993.
10.
Rifki, Nusjirwan. Epistaksis Dalam "Penatalaksanaan Penyakit dan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorokan. Balai Penerbit FKUI. Jakarta,
1992; 112-7.
Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001
46
Penyakit Kaki Gajah (Filariasis atau Elephantiasis)
Penyakit Kaki Gajah (Filariasis atau Elephantiasis) adalah golongan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Setelah tergigit nyamuk, parasit (larva) akan menjalar dan ketika sampai pada jaringan sistem lympa maka berkembanglah menjadi penyakit tersebut.
Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan, dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Penyakit Kaki Gajah bukanlah penyakit yang mematikan, namun demikian bagi penderita mungkin menjadi sesuatu yang dirasakan memalukan bahkan dapat mengganggu aktifitas sehari-hari.
Penyakit Kaki Gajah umumnya banyak terdapat pada wilayah tropis. Menurut info dari WHO, urutan negara yang terdapat penderita mengalami penyakit kaki gajah adalah Asia Selatan (India dan Bangladesh), Afrika, Pasifik dan Amerika. Belakangan banyak pula terjadi di negara Thailan dan Indonesia (Asia Tenggara).
Penularan Penyakit Kaki Gajah
Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang yang telah tertular sebelumnya. Darah yang terinfeksi dan mengandung larva dan akan ditularkan ke orang lain pada saat nyamuk yang terinfeksi menggigit atau menghisap darah orang tersebut.
Tidak seperti Malaria dan Demam berdarah, Filariasis dapat ditularkan oleh 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres. Karena inilah, Filariasis dapat menular dengan sangat cepat.
Tanda dan Gejala Penyakit Kaki Gajah
Seseorang yang terinfeksi penyakit kaki gajah umumnya terjadi pada usia kanak-kanak, dimana dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun) mulai dirasakan perkembangannya.
Adapun gejala akut yang dapat terjadi antara lain :
- Demam berulang-ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat
- Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
- Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis)
- Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
- Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)
Sedangkan gejala kronis dari penyakit kaki gajah yaitu berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).
Pemeriksaan Diagnostik Penyakit Kaki Gajah
Penyakit kaki gajah ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan mikroskopis darah, Sampai saat ini hal tersebut masih dirasakan sulit dilakukan karena microfilaria hanya muncul dan menampilkan diri dalam darah pada waktu malam hari selama beberapa jam saja (nocturnal periodicity).
Selain itu, berbagai methode pemeriksaan juga dilakukan untuk mendiagnosa penyakit kaki gajah. Diantaranya ialah dengan system yang dikenal sebagai Penjaringan membran, Metode konsentrasi Knott dan Teknik pengendapan.
Metode pemeriksaan yang lebih mendekati kearah diagnosa dan diakui oleh pihak WHO adalah dengan jalan pemeriksaan sistem "Tes kartu", Hal ini sangatlah sederhana dan peka untuk mendeteksi penyebaran parasit (larva). Yaitu dengan cara mengambil sample darah sistem tusukan jari droplets diwaktu kapanpun, tidak harus dimalam hari.
Penanganan dan Pengobatan Penyakit Kaki Gajah
Tujuan utama dalam penanganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah adalah membasmi parasit atau larva yang berkembang dalam tubuh penderita, sehingga tingkat penularan dapat ditekan dan dikurangi.
Dietilkarbamasin {diethylcarbamazine (DEC)} adalah satu-satunya obat filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini tergolong murah, aman dan tidak ada resistensi obat. Penderita yang mendapatkan terapi obat ini mungkin akan memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simtomatik.
Dietilkarbamasin tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3 jam, dan diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau
dalam keadaan lemah.
Namun pada kasus penyakit kaki gajah yang cukup parah (sudah membesar) karena tidak terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan tentunya memerlukan langkah lanjutan seperti tindakan operasi.
Pencegahan Penyakit Kaki Gajah
Bagi penderita penyakit gajah diharapkan kesadarannya untuk memeriksakan kedokter dan mendapatkan penanganan obat-obtan sehingga tidak menyebarkan penularan kepada masyarakat lainnya. Untuk itulah perlu adanya pendidikan dan pengenalan penyakit kepada penderita dan warga sekitarnya.
Pemberantasan nyamuk diwilayah masing-masing sangatlah penting untuk memutus mata rantai penularan penyakit ini. Menjaga kebersihan lingkungan merupakan hal terpenting untuk mencegah terjadinya perkembangan nyamuk diwilayah tersebut. _______________________________________________________________________
Penyakit Pneumonia
Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi atau peradangan pada organ paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur ataupun parasit di mana pulmonary alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer menjadi "inflame" dan terisi oleh cairan. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh iritasi kimia atau fisik dari paru-paru atau sebagai akibat dari penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru atau terlalu banyak minum alkohol. Namun penyebab yang paling sering ialah serangan bakteria streptococcus pneumoniae, atau pneumokokus.
Penyakit Pneumonia sering kali diderita sebagian besar orang yang lanjut usia (lansia) dan mereka yang memiliki penyakit kronik sebagai akibat rusaknya sistem kekebalan tubuh (Imun), akan tetapi Pneumonia juga bisa menyerang kaula muda yang bertubuh sehat. Saat ini didunia penyakit Pneumonia dilaporkan telah menjadi penyakit utama di kalangan kanak-kanak dan merupakan satu penyakit serius yang meragut nyawa beribu-ribu warga tua setiap tahun.
Terjadinya Penyakit Pneumonia
Cara penularan virus atau bakteri Pneumonia sampai saat ini belum diketahui pasti, namun ada beberapa hal yang memungkinkan seseorang beresiko tinggi terserang penyakit Pneumonia. Hal ini diantaranya adalah :
1. Orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah, seperti penderita HIV/AIDS dan para penderita penyakit kronik seperti sakit jantung, diabetes mellitus. Begitupula bagi mereka yang pernah/rutin menjalani kemoterapy (chemotherapy) dan meminum obat golongan Immunosupressant dalam waktu lama, dimana mereka pada umumnya memiliki daya tahan tubuh (Immun) yang lemah.
2. Perokok dan peminum alkohol. Perokok berat dapat mengalami irritasi pada saluran pernafasan (bronchial) yang akhirnya menimbulkan secresi muccus (riak/dahak), Apabila riak/dahak mengandung bakteri maka dapat menyebabkan Pneumonia. Alkohol dapat berdampak buruk terhadap sel-sel darah putih, hal ini menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh dalam melawan suatu infeksi.
3. Pasien yang berada di ruang perawatan intensive (ICU/ICCU). Pasien yang dilakukan tindakan ventilator (alat bantu nafas) 'endotracheal tube' sangat beresiko terkena Pneumonia. Disaat mereka batuk akan mengeluarkan tekanan balik isi lambung (perut) ke arah kerongkongan, bila hal itu mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas (ventilator) maka potensial tinggi terkena Pneumonia.
4. Menghirup udara tercemar polusi zat kemikal. Resiko tinggi dihadapi oleh para petani apabila mereka menyemprotkan tanaman dengan zat kemikal (chemical) tanpa memakai masker adalah terjadi irritasi dan menimbulkan peradangan pada paru yang akibatnya mudah menderita penyakit Pneumonia dengan masuknya bakteri atau virus.
5. Pasien yang lama berbaring. Pasien yang mengalami operasi besar sehingga menyebabkannya bermasalah dalah hal mobilisasi merupakan salah satu resiko tinggi terkena penyakit Pneumonia, dimana dengan tidur berbaring statis memungkinkan riak/muccus berkumpul dirongga paru dan menjadi media berkembangnya bakteri.
Tanda dan Gejala Penyakit Pneumonia
Gejala yang berhubungan dengan pneumonia termasuk batuk, sakit dada, demam, dan kesulitan bernafas. Sedangkan tanda-tanda menderita Pneumonia dapat diketahui setelah menjalani pemeriksaan X-ray (Rongent) dan pemeriksaan sputum.
Penanganan dan Pengobatan Penyakit Pneumonia
Penanganan dan pengobatan pada penderita Pneumonia tergantung dari tingkat keparahan gejala yang timbul dan type dari penyebab Pneumonia itu sendiri.
1. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri akan diberikan pengobatan antibiotik. Pengobatan haruslah benar-benar komplite sampai benar-benar tidak lagi adanya gejala atau hasil pemeriksaan X-ray dan sputum tidak lagi menampakkan adanya bakteri Pneumonia, jika tidak maka suatu saat Pneumonia akan kembali diderita.
2. Pneumonia yang disebabkan oleh virus akan diberikan pengobatan yang hampir sama dengan penderita flu, namun lebih ditekankan dengan istirahat yang cukup dan pemberian intake cairan yang cukup banyak serta gizi yang baik untuk membantu pemulihan daya tahan tubuh.
3. Pneumonia yang disebabkan oleh jamur akan mendapatkan pengobatan dengan pemberian antijamur.
Disamping itu pemberian obat lain untuk membantu mengurangi nyeri, demam dan sakit kepala. Pemberian obat anti (penekan) batuk di anjurkan dengan dosis rendah hanya cukup membuat penderita bisa beristirahat tidur, Karena batuk juga akan membantu proses pembersihan secresi mucossa (riak/dahak) diparu-paru.
Penyakit Tuberkulosis (TBC)
Penyakit TBC adalah merupakan suatu penyakit yang tergolong dalam infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja. Di Indonesia khususnya, Penyakit ini terus berkembang setiap tahunnya dan saat ini mencapai angka 250 juta kasus baru diantaranya 140.000 menyebabkan kematian. Bahkan Indonesia menduduki negara terbesar ketiga didunia dalam masalah penyakit TBC ini.
Penyebab Penyakit (TBC)
Penyakit TBC disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Jenis bakteri ini pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, Untuk mengenang jasa beliau maka bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan penyakit TBCpada paru-paru pun dikenal juga sebagai Koch Pulmonum (KP).
Cara Penularan Penyakit TBC
Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru.
Masuknya Mikobakterium tuberkulosa kedalam organ paru menyebabkan infeksi pada paru-paru, dimana segeralah terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berbentuk bulat (globular). Dengan reaksi imunologis, sel-sel pada dinding paru berusaha menghambat bakteri TBC ini melalui mekanisme alamianya membentuk jaringan parut. Akibatnya bakteri TBC tersebut akan berdiam/istirahat (dormant) seperti yang tampak sebagai tuberkel pada pemeriksaan X-ray atau photo rontgen.
Seseorang dengan kondisi daya tahan tubuh (Imun) yang baik, bentuk tuberkel ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Lain hal pada orang yang memilki sistem kekebelan tubuh rendah atau kurang, bakteri ini akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Sehingga tuberkel yang banyak ini berkumpul membentuk sebuah ruang didalam rongga paru, Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (riak/dahak). Maka orang yang rongga parunya memproduksi sputum dan didapati mikroba tuberkulosa disebut sedang mengalami pertumbuhan tuberkel dan positif terinfeksi TBC.
Berkembangnya penyakit TBC di Indonesia ini tidak lain berkaitan dengan memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Hal ini juga tentunya mendapat pengaruh besar dari daya tahan tubuh yang lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman yang memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi TBC.
Gejala Penyakit TBC
Gejala penyakit TBC digolongkan menjadi dua bagian, yaitu gejala umum dan gejala khusus. Sulitnya mendeteksi dan menegakkan diagnosa TBC adalah disebabkan gambaran secara klinis dari si penderita yang tidak khas, terutama pada kasus-kasus baru.
1. Gejala umum (Sistemik)
- Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
- Penurunan nafsu makan dan berat badan.
- Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
- Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
2. Gejala khusus (Khas)
- Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
- Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
- Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
- Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada penderita usia anak-anak apabila tidak menimbulkan gejala, Maka TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Sekitar 30-50% anak-anak yang terjadi kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.
Penegakan Diagnosis pada TBC
Apabila seseorang dicurigai menderita atau tertular penyakit TBC, Maka ada beberapa hal pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk memeberikan diagnosa yang tepat antara lain :
- Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
- Pemeriksaan fisik secara langsung.
- Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
- Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
- Rontgen dada (thorax photo).
- dan Uji tuberkulin.
Pengobatan Penyakit TBC
Pengobatan bagi penderita penyakit TBC akan menjalani proses yang cukup lama, yaitu berkisar dari 6 bulan sampai 9 bulan atau bahkan bisa lebih. Penyakit TBC dapat disembuhkan secara total apabila penderita secara rutin mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter dan memperbaiki daya tahan tubuhnya dengan gizi yang cukup baik.
Selama proses pengobatan, untuk mengetahui perkembangannya yang lebih baik maka disarankan pada penderita untuk menjalani pemeriksaan baik darah, sputum, urine dan X-ray atau rontgen setiap 3 bulannya. Adapun obat-obtan yang umumnya diberikan adalah Isoniazid dan rifampin sebagai pengobatan dasar bagi penderita TBC, namun karena adanya kemungkinan resistensi dengan kedua obat tersebut maka dokter akan memutuskan memberikan tambahan obat seperti pyrazinamide dan streptomycin sulfate atau ethambutol HCL sebagai satu kesatuan yang dikenal 'Triple Drug'.